Friday, September 19, 2008

Sesuatu yang tertunda

Tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk menjalin hubungan dekat.
Cobaan demi cobaan di sela-sela romantika hidup, terus mewarnai dari
detik ke detik. Sampai-sampai aku pernah bilang pada Alif, apakah
sebaiknya kita tidak berdekatan? Hubungan kita seperti sekedar teman
saja. Tapi dia menguatkan bahwa sepanjang cobaan itu datang dari luar,
bukankah justru menambah dekatnya hubungan kita? Lalu aku pun
mengurungkan niat itu dan membenarkan ucapan Alif. Karena memang
begitulah yang kurasakan, akar permasalahan seringkali dari orang
luar. Yah sebenarnya aku dan Alif cocok, saling menerima apa adanya.
Kami hanya berpegang pada moto hidup, ikuti aturan dan norma orang
timur. Meski terkadang menjalaninya tidak mudah, tapi kami tetap
berusaha. Soal hobi, makanan kesukaan dan yang lain, bisa saling
memaklumi jika terjadi perbedaan. Cobaan justru datang dari luar.
Biasalah, terkadang orang tidak senang melihat kebahagiaan orang lain.
Masih mending kalau cuma itu, mereka juga menaruh cemburu. Sedapat
mungkin hubungan kami bubaran. Cobaan paling dasyat kualami dan hampir
membuatku hampir tidak melanjutkan hubungan dengan Alif ketika Dira,
orang lama, musuh bebuyutanku, lagi-lagi membuat ulah. Dia bilang sama
Alif kalau dikampung aku sudah dijodohkan oleh orang tuaku. Bayangkan
saja, saat itu Alif lagi gencar-gencarnya mendekatiku. Bagaimana kalau
sampai Alif percaya? Dira satu kampung denganku. Sejak dulu dia
menaruh hati. Sampai-sampai aku pindah ke Bekasi, dia juga ikutan.
Tapi cintanya tidak pernah aku balas. Akibatnya dia selalu menghalangi
siapa pun yang mencoba mendekatiku. Makanya aku bilang dia musuh.
Syukurlah Alif tidak percaya begitu saja. Toh, aku yang dia dekati,
kenapa mesti mendengarkan orang lain kalau memang tidak ada buktinya.
Waktu terus berjalan. Tak terasa kuliah Alif selesai. Beberapa bulan
kemudian dia diterima bekerja di perusahaan tempat dia magang dulu.
Aku pura-pura menagih janji. Ketika kami berbicara santai, dengan
iseng kukatakan, ''kapan kita menikah?'' Alif seperti diingatkan. Dia
langsung mengiyakan ucapanku. Betapa aku tidak menyangka campur
bahagia. Alif meluluskan permintaanku. Rencananya kami akan menggelar
pesta sederhana. Alif masih pegawai baru dan aku belum bekerja. Aku
dan Alif ketika kuliah dibiayai kakak-kakak kami. Pada saat
menikahpun, biayanya ditanggung bersama. Yang penting tujuan kami
mengumpulkan teman-teman sebagai bentuk silaturahmi tersampaikan. Aku
mulai rajin mencari info teman-temanku. Kucari alamat mereka satu
persatu. Aku begitu bersemangat. Barangkali saat ini saat terakhir
pula hajatan keluarga besar kami, mengingat aku adalah anak perempuaan
terakhir. Itulah yang membuat keluargaku makin bersemangat
mempersiapkan hajatan pernikahan. Terbatasnya biaya ditanggung bersama
dan proses persiapannya pun dilakukan beramai-ramai. Waktu terus
berputar. Semua persiapan sudah matang. Tanpa terasa, tahu-tahu pesta
tinggal satu bulan lagi. Teman ibu meminta aku dan Alif mengepas
pakaian pengantin, siapa tahu ada yang harus dibenahi serta pakaian
mana dan warna apa yang diingini. Alif kuhubungi, tapi jawabnya selalu
sibuk. Dia dan teman-temannya sedang mempersiapkan dekorasi pengantin
terindah. Aku pun maklum. Tapi bagaimana aku menyadarkannya bahwa
mengepas pakaian juga penting. Mentang-mentang dia lelaki yang
busananya tidak rumit. Alif terus kuhubungi, tapi penantian tinggal
penantian ketika suatu saat aku menerima sms yang bunyinya lain dari
yang kuduga.
''Anin lebih baik pernikahan kita dibatalkan, ada hal yang harus aku
lakukan yang lebih penting''.
Kuamati sms itu berkali-kali. Tak mungkin ini dari Alif. Pasti salah
satu keponakannya yang meminjam HPnya. Kubiarkan sms itu. Sedikitpun
aku tidak tanggapi. Namun semakin kubiarkan, dari detik ke detik
lama-lama aku tak tenang. Jawaban dari Alif masih kutunggu. Ketika
kakakku yang tertua memberikan deadline agar Alif datang, dan aku
tidak punya alasan lagi, lantas kutunjukkan sms itu pada kakakku.
Sontak kakakku kaget dan menanyakan apa maksudnya. Tentu saja aku
menjawab tidak tahu. Karena sms itu pasti bukan dari Alif, mungkin
keponakannya yang nakal. Aku masih bisa membelanya, meskipun diam-diam
dalam hati melihat keresahan kakakku. Kakakku tidak yakin. Hari makin
mendekat. Lalu ia berkonsultasi dengan anggota keluarga. Yah, ini
tidak bisa dianggap main-main, kesimpulan semuanya.
Aku disuruh menghubungi Alif sekali lagi, tapi HPnya malah dimatikan.
Keluarga panik dan marah-marah. Bagaimana aku bisa menjelaskan, sebab
aku sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan Alif. Bapak pun
menyuruh salah satu kakak lelakiku mendatangi tempat kost Alif. Sayang
pemilik kost bilang kalau sudah sebulan Alif tidak disitu. Juga dengan
tempat pekerjaannya, dia sudah keluar. Pun kakakku yang menanyakan ke
kampung halamannya lebih menyakitkan lagi. Orang tua dan
saudara-saudaranya juga sedang resah. Alif sudah sejak satu bulan lalu
menghilang, entah kemana. Dia juga mengirimkan sms kalau pernikahannya
minta dibatalkan saja. Mereka pun tidak tahu apa yang sesungguhnya
terjadi dengan Alif dan dimanakah dia sekarang.
Hatiku terbang entah kemana. Hidupku seperti sudah berakhir. Jalan di
depanku gelap, bahkan aku layaknya berdiri di bibir tebing yang curam.
Pertanyaan-pertanyaan tanpa diundang silih bergantian merasuki
pikiranku. Apakah ia lupa, sepanjang tiga tahun ranjau demi ranjau
menghalangi jalanan, tapi semuanya dengan selamat bisa dilalui.